Teguh Terhadap Komitmen

”Bila kita terbunuh,kita akan mati sebagai martir,dan bila kita menang,kita akan hidup seperti pahlawan.Kesulitan yang dihadapi dengan berani lebih mulia daripada mundur dalam kenyamanan”
Kahlil Gibran

“Luar biasa !”.Itulah kata-kata dan gambaran perasaan saya ketika selesai membaca kisah hidup seorang Mansur al-Hallaj,dalam buku Al-Hallaj ; Sang Sufid Syahid,karangan Louis Massignon,yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dari judul asli Hallaj,Mystic and Martyr.Hallaj bisa dikatakan sosok yang fenomenal dalam dunia Tasawuf,bahkan hingga saat ini.Karena kefenomenalannya bahkan ia dihukum mati pada tahun 922 M.Banyak orang yang menganggap ia memiliki karamah dan ia digolongkan sebagai Wali yang mabuk cinta pada Tuhan,namun terkadang banyak pula yang menganggap ia adalah sosok Kafir,mulhid bahkan hingga dukun gadungan.Hal semacam ini bermula karena ucapan-ucapan syatahatnya antara lain yang paling menggegerkan yaitu Ana al-Haqq,Akulah sang Kebenaran atau Tuhan.

Berkenaan dengan ucapan-ucapan yang nyleneh yang sering ia lontarkan.Hingga pada titik puncaknya,al-Hallaj harus mengakhiri buntut ucapannya tersebut pada tiang gantungan di hadapan masyarakat Baghdad.Lagi-lagi,pada saat eksekusi itu masih saja terdapat kontroversi pendapat antara para ulama’ akan kenylenehan Hallaj itu,antara lain pertentangan Junaid dan Syibli akan kewalian Hallaj.

Terlepas dari benar dan salah pada diri al-Hallaj.Menarik kita amati kata-kata Hallaj terhadap Syibli,“Sufisme adalah apa yang sekarang kau saksikan,akhirnya dapat engkau lihat esok hari” Kata Hallaj.Menarik diketahui,bahwasanya Syibli lalu mengomentarinya “Husain bin Mansur (baca;Hallaj) benar,Sufisme adalah pengorbanan spiritual,jangan perhatikan ‘kebodohan’ mistikus.”Darisini kita bisa mengambil poin yang kita rasa penting yakni pengorbanan akan komitmen yang telah ia lakukan.

Kisah-kisah pengorbanan semacam ini,kiranya bisa kita temukan juga pada kisah hidup Socrates,seorang Filosof Yunani.Kisahnya hampir mirip dengan kisah Hallaj,mereka sama-sama dihukum mati oleh pemerintahan saat itu,bedanya Socrates dibunuh dengan cara meminum racun.Socrates dinyatakan bersalah karena ia dituduh meracuni pemikiran pemuda-pemuda Athena dan ia didakwa juga telah menentang Tuhan-Tuhan orang Athena waktu itu.

Dari kedua kisah diatas,ada suatu kesamaan sifat dari kedua tokoh tersebut.Mereka sangat komitmen dengan apa yang telah mereka lakukan dan apa yang telah mereka anggap sebagai kebenaran baginya.Dikarenakan,Hallaj dan Socrates sebenarnya bisa saja kabur dan lepas dari hukuman tersebut jikalau mereka bersedia.Namun,mereka enggan melakukan itu.

Ada sebuah kata-kata bijak dari seorang sastrawan ternama yakni Kahlil Gibran, dalam karyanya Sayap-Sayap Patah,”Bila kita terbunuh,kita akan mati sebagai martir,dan bila kita menang,kita akan hidup seperti pahlawan.Kesulitan yang dihadapi dengan berani lebih mulia daripada mundur dalam kenyamanan.Kupu-kupu yang berputar disekeliling lampu sampai mati,lebih dikagumi daripada tikus mondok yang hidup di liang.”Dari kata-kata ini,kiranya dapat dijadikan upaya justifikasi terhadap kedua tokoh diatas.Bahwasanya kita harus menjadi seorang pemberani,memiliki jiwa berkorban serta komitmen dengan apa yang telah kita perbuat dan yakini.Kita bukan lah seorang pecundang,pengecut serta orang yang membebek pada status quo daripada kebenaran yang kita yakini (baca;tidak komitmen).

Dalam kehidupan sehari-hari,terkadang memang kita selalu menjadi orang yang pengecut dan takut memegang komitmen dalam hal apapun.Dalam beragama,kita terkadang lebih suka menjadi Ashab al-Aqwal atau bahasa kasarannya ngomong tok daripada orang beragama secara praktek.Agama yang sebenarnya merupakan sebuah ideologi (baca;pandangan hidup) untuk diterapkan,namun nyatanya hanya dijadikan sebagai monumen yang sekedar untuk diperbincangkan.Agama Islam misalnya mengajarkan kita untuk selalu menjaga shalat lima waktu,kita sering memperbincangkan dan meyakini bahwa memang shalat lima waktu adalah hal yang diajarkan Islam,namun miris ketika orang tersebut meskipun meyakininya tetapi tidak mengamalkannya.Dan mungkin banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.

Kebenaran atau keyakinan yang seharusnya menjadi sebuah identitas diri,memang sulit untuk kita terapkan dan kita buktikan dalam kehidupan kita.Yang lantas,pastinya hidup kita ini kehilangan daya utilitasnya sebagai diri kita yang punya identitas.Karena kita lebih sering menjadikan sebuah kebenaran dan keyakinan kita sebagai sebuah kumpulan sampah.Ibaratnya diri ini merupakan sebuah tong,lalu ilmu pengetahuan dan hal lain yang kita yakini kebenarannya hanya kita jadikan isi dari tong tersebut tanpa ada guna dan manfaatnya,dan itulah yang saya sebut sebagai sampah.Dan tak salah juga mungkin Nabi Muhammad SAW penah membaca keadaan seperti ini (meskipun bukan dengan istilah‘tong sampah’) yakni maraknya manusia yang tak ada guna dan manfaat,beliau mengucapkan “annasu ka ibili miah,laa tajidu fiiha roohilatan” Artinya “manusia (pada suatu masa) seperti seperti seratus ekor unta,yang tak bisa engkau tunggangi unta itu”.

Maka dari itu,kisah Hallaj dan Socrates seharusnya bisa kita jadikan ajang intropeksi dan orientasi diri.Mereka rela mengorbankan hidupnya dengan apa yang sudah mereka anggap sebagai kebenaran,tak pandang bulu walau nyawa taruhannya.Itulah mereka yang benar-benar mencintai kebenaran,keyakinan serta komitmen yang benar-benar mereka pegang dan alami.Lalu darisitu,Sudahkan dan sanggupkah kita menjaga komitmen yang kita buat,menjaga kebenaran serta keyakinan yang kita pegang,lalu,bisakah kita menjaga mati-matian hal-hal tersebut meskipun nyawa sekalipun taruhannya.Itulah mungkin pertanyaan yang harusnya senantiasa kita ajukan pada diri kita agar kita menjadi seorang yang punya sebuah kebenaran yang akan menjadi identitas diri kita.

Komentar

Postingan Populer