Qabdh dan Basth
Barangsiapa yang harinya (sekarang) lebih baik dari pada harinya kemarin, maka dia adalah seorang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya (sekarang) seperti harinya yang kemarin maka dia adalah seorang yang merugi. Dan barangsiapa yang harinya(sekarang) lebih buruk daripada yang kemarin, maka dia adalah seorang yang celaka.
Rasulullah Muhammad SAW
Judul diatas merupakan istilah dalam dunia tasawuf, yang pada saat itu saya membaca buku karangan Martin Lings, Ada Apa dengan Sufi ? dalam edisi bahasa Indonesia yang telah diterjemahkan dari judul asli, What is Sufism?. Martin Lings atau biasa dikenal dengan nama Syekh Abu Bakar Sirajuddin merupakan seorang penyair dan orientalis yang memperoleh hidayah untuk memeluk Islam (baca;muallaf). Dalam buku ini Lings membahas tentang aspek-aspek dan karakteristik tasawuf yang ia bahas dengan riset-riset yang kuat. Namun, yang menjadi acuan dalam tulisan saya kali ini adalah berkenaan dengan istilah tasawuf yang dibahas oleh Lings dalam bukunya, yakni Qabdh dan Bast.
Secara literatur tasawuf, Qabdh dan Bast merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Syekh Junaid Al-Baghdadi. Qabdh merupakan upaya pengekangan diri seorang salik, yang nantinya berimplikasi pada Bast yang merupakan perluasan hati dalam sisi esoterik dan amal dari sisi eksoterik. Dalam membahas istilah ini, Lings menganalogikan pada filosofi tarian Sema’ atau Whirling Dervishes (Darwis yang berputar) pada ordo (Thariqat) Mevlevi yang dipelopori oleh Maulana Jalaluddin Rumi. Dalam tarian itu Qabdh digambarkan dengan tetapnya kaki kiri yang dilambangkan sebagai poros yang fokus pada satu titik yakni fokus akan kemahaHadiran Tuhan. Lalu Bast dilambangkan dengan mekarnya baju yang berimplikasi pada pencurahan anugerah-anugerah Ilahi.
Secara praktek kesufian, Qabdh biasanya digambarkan oleh para sufi dengan perilaku pengasingan diri (baca;Khalwah) serta perilaku mengekang diri dari perbuatan-perbuatan tercela. Hal-hal semacam ini (baca;Khalwah) bisa kita temukan dalam kisah-kisah sufi seperti Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, Hasan al-Basri, Bisyr al-Hafi dan tokoh sufi lain. Sedangkan Bast merupakan implikasi dari perilaku pengekangan yakni berupa perilaku peningkatan-peningkatan dan penyempurnaan amal yang terpuji.
Hal-hal diatas kiranya bukan hanya dikotomis dalam dunia tasawuf, tak salah juga bahkan bisa jadi wajib hal itu kiranya ada dalam kehidupan masyarakat secara umum. Qabdh dalam praktek kehidupan sehari-hari bisa kita artikan dengan artian ngempet dari segala bentuk perilaku buruk serta hal-hal negatif untuk hidup kita. Misalnya orang yang dulunya seorang perampok, mulai dari sekarang berusaha untuk tak merampok lagi. Yang dulunya penjudi, mulai sekarang ia berganti profesi untuk tak menjudi. Yang sekarang sering menjajakan tubuhnya (baca;pelacur), ia harus beralih kerja menjadi seorang yang tak melakukan hal itu lagi. Yang inti dari semua hal itu bisa dikatakan proses revolusi diri dan pembenahan hidup dari negatif ke arah yang positif.
Aspek Qabdh ini kiranya juga bisa kita temukan pada ritus keagamaan, yakni Puasa. Ia merupakan ritus yang mengajarkan pada manusia agar ia meninggalkan perilaku yang substansial seperti makan, minum atau bersenggama secara temporal sejak waktu subuh sampai tiba waktu maghrib, serta manusia dituntut perilaku-perilaku negatif yang memang dilarang diperbuat dalam ritus puasa ini. Jadi manusia memang dipaksa secara radikal untuk meninggalkan semua bentuk perilaku-perilaku diatas, yang kiranya tujuan tersebut tak lain adalah pembiasaan dan pengendalian hidup secara positif.
Berkenaan tentang Bast, secara harfiah ia dikatakan sebagai perluasan. Disini saya artikan sebagai al-bast ba’da al-qabd (perluasan setelah melakukan pengekangan). Implikasi dari sifat ini adalah manusia yang telah menerapkan pengekangan dari perilaku-perilaku tercela, ia diharapkan untuk selalu melakukan peningkatan-peningkatan dan penyempurnaan perbuatan yang positif baik dalam ranah intelektual, spiritual maupun sosial. Mahasiswa yang sudah terbiasa “mengekang” dirinya untuk belajar, ia diharuskan selalu meningkatkan pembiasaan belajar tersebut. Sufi yang sudah “memaksa” dirinya untuk bermunajat melalui sholat tahajud dan amalan-amalan lain, ia diharuskan meningkatkan amalan-amalan tersebut dan menyempurnakan pola-pola amal itu baik dari sisi eksoterik maupun esoterik. Pejabat yang “mengekang” dirinya untuk tak berlaku korupsi pada uang rakyat, ia diharuskan tak hanya melakukan itu, ia pun dituntut selalu membenahi kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan kemaslahatan kehidupan masyarakat yang ia pimpin. Begitu seterusnya.
Dari paparan diatas kiranya, sangat penting kita mewujudkan pola hidup dengan metode Qabdh dan Bast ini. Bayangkan saja jikalau manusia ia selalu melakukan perilaku-perilaku yang mereka ingini semaunya tanpa ada kedua aspek ini. Pastinya kejahatan dan perilaku-perilaku negatif lainnya akan langgeng dalam kehidupan manusia, lalu imbasnya pasti akan menimbulkan inharmonisasi dalam kehidupan manusia. Dikarenakan semua punya kehendak masing-masing secara anarki yang ingin mereka mewujudkan meskipun melanggar batas-batas etik.
Mari kita renungi salah satu maqalah yang masyhur dikalangan umat islam, bahkan terkadang kata-kata ini dinisibatkan terhadap Rasulullah SAW, beliau mengatakan “man kana yaumuhu khairan min amsihi fahuwa robih, wa man kana yaumuhu misla amsihi wahumu khosir, wan man kana yaumuhu syarron min amsihi fahuwa halik” yang artinya Barangsiapa yang harinya (sekarang) lebih baik dari pada harinya kemarin, maka dia adalah seorang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya (sekarang) seperti harinya yang kemarin maka dia adalah seorang yang merugi. Dan barangsiapa yang harinya(sekarang) lebih buruk daripada yang kemarin, maka dia adalah seorang yang celaka. Dari maqalah atau hadits ini bisa kita kaitkan dengan pola Qabdh dan Bast yang sedang kita bahas ini. Bahwasanya yang diterangkan adalah bagaimana pola hidup kita selalu mengalami proggresivitas ke arah yang lebih baik, manusia tak dibenarkan berpola hidup stagnan apalagi mengalami stagnasi dalam pola hidup negatif.
Komentar
Posting Komentar