Bergelut Dengan Kebenaran
Pemikiran yang benar, maka ia mengandung kesalahan,dan (begitupula) pemikiranmu yang salah, maka ia (juga) mengandung sebuah kebenaran
Muhammad bin Idris as-Syafi’i
Memang, manusia pasti memiliki sesuatu yang ia pegang dan ia percayai sebagai kebenaran. Mereka bisa menentukan hal-hal ekstrinsik dari dirinya yang bebas ia pilih. Setelah itu, mereka (tentunya) akan menjalani kebenaran yang telah mereka anut, bahkan akan berjuang dan mati-matian untuk mengupayakan kebenaran tersebut agar ia nyaman menjalaninya serta berusaha menyampaikan kebenaran yang ia yakini agar diterima juga oleh orang lain. Antara Yakin dan meyakinkan. Misalnya persaingan kubu dalam sebuah pilkada,setiap kubu pasti ia meyakini bahwa (kebenaran) calon yang ia usung adalah sosok yang paling layak untuk dipilih dan pastinya mereka akan menyakinkan pada orang lain bahwa memang calon yang ia dukung memang benar-benar layak untuk dipilih, begitupula kubu sebaliknya. Clear.
Namun, ternyata secara realitas tak hanya berhenti pada suatu tindakan yakin dan meyakinkan kebenaran, malah seringkali berujung pada tindakan pemaksaan kebenaran dan klaim kebenaran (truth claim). Memang, manusia dengan egonya sering kali tak puas dan merasa risih jikalau (masih) terjadi perdebatan atau perselisihan. Sebuah perselisihan bagi mereka harus segera dituntaskan dengan indikator bahwasanya mereka lah yang harus memenangkannya. Kita seringkali merasa jengkel, marah serta menyalah-nyalahkan jikalau kebenaran kita ternyata ada yang menyelisihinya. Walaupun, mereka yang menyelisihi kita punya kebenaran yang ia yakini (juga) kebenarannya. Salah satu indikator yang bisa saya katakan tindakan pemaksaan kebenaran dan truth claim ini adalah tindakan penghinaan, penyesatan serta intoleransi tanpa adanya dialog serta tabayun terlebih dahulu.
Berbicara tentang truth claim, dalam perspektif agama islam, tindakan ini bisa dikatakan sebuah idiom yang kurang adil serta minim dasar referensi. Dalam hal ini, agama islam sebenarnya memahami pola-pola sosial dan dimensi kemanusiaan yang abstrak dan plural yang nantinya domain tersebut menghasilkan penilaian subjektif sampai intersubjektif dalam tindakan keberagamaan. Islam tidak memandang dimensi kemanusiaan dan pola-pola sosial dengan hal yang obyektif dan mekanis. Hal ini terbukti dengan diturunkannya al-Quran itu sendiri dengan didominasi ayat-ayat (materi) global yang memang harus dan perlu diinterpretasikan dengan kacamata seorang mufassir dan waqi’ (realitas) yang ada. Maka dari sini,kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya ketika kita berbicara tentang tafsir, maka didalam suatu ayat tafsiran tersebut pastinya ada peran pemikiran seorang mufassir dan waqi’ dimana ayat itu disintesakan.
Dalam value pemikiran sebuah tafsir, Imam Syafii rahimahullahu ta’ala pernah mengatakan ro’yu as-shawab yahtamil al-khata’.wa ro’yuka al-khata’ yahtamil as-shawab artinya pemikiran yang benar, maka ia mengandung kesalahan dan (begitupula) pemikiranmu yang salah, maka ia (juga) mengandung sebuah kebenaran. Dari kata-kata Imam Syafii ini, menunjukkan bahwasanya beliau pada zaman dahulu sudah paham dan mengerti akan kedinamisan serta kerelativitasan sebuah pemikiran. Sebuah pemikiran (penalaran) yang dalam hal ini mengacu pada al-Quran merupakan sebuah upaya penggalian kebenaran melalui teks suci yang dari segi periwayatan (tsubut) absolut dengan pemaknaan yang pasti bukan bersifat absolut karena disandarkan pada hal yang profan yaitu diri seorang mufassir itu sendiri. Dari sini,islam dengan metode tafsirnya sebenarnya telah memberikan stigma negatif terhadap perilaku truth claim.
Dalam sudut pandang keilmuan modern, Immanuel Kant pernah menelurkan sebuah teori menarik, yaitu Das Ding An Sich. Teori ini adalah sebuah episteme dalam melihat dan menganalisis cara pandang kita terhadap apa yang dinamakan sebuah kebenaran.Ia mengemukakan dua idiom yaitu Noumena dan Fenoumena. Secara singkat bisa kita artikan bahwa Noumena adalah sebuah obyek yang sesungguhnya, sedangkan Fenoumena adalah sebuah obyek yang telah kita amati dan kita beri makna pada obyek tersebut. Misalnya Handphone mahal sebagai Noumena, lalu ia diamati oleh tiga orang yang berlainan watak dan kondisi psikologis maupun sosialnya. Yang pertama adalah orang yang berkecukupan dan punya banyak relasi kerja, lalu yang kedua adalah orang yang sangat membutuhkan uang dan yang ketiga adalah orang gila. Dalam pandangan orang pertama, handphone baginya diartikan sangat membantu dalam komunikasi dengan relasi kerjanya. Berbeda dengan orang kedua, mungkin karena kebutuhan ekonomi yang ia alami, dengan menjual handphone mahal tersebut bisa mencukupi kebutuhannya. Lain pula pandangan orang ketiga, ia yang berstatus orang gila dalam artian tidak waras akan menganggap handphone mahal tersebut tak berguna apapun bagi dirinya. Nah, pemaknaan-pemaknaan inilah yang dinamakan sebagai Fenoumena.
Dari teori Kant tersebut, ada sebuah hikmah yang bisa kita ambil, bahwa sebuah asumsi kebenaran pasti ia menghasilkan berbagai pandangan-pandangan kebenaran yang berbeda. Penyebabnya, tak lain adalah dimensi manusia yang plural. Ia tidak diciptakan sejenis dan serupa dalam hal apapun. Manusia diberikan sebuah akal sebagai alat penentu kebenaran yang ia jalani bagi diri mereka masing-masing. Akal pun tak berdiri sendirian, ia juga dipengaruhi situasi dan kondisi dimana akal itu terbentuk. Maka mustahil sekali jikalau kita menginginkan sebuah kebenaran dalam ranah pemikiran menjadi sebuah ranah absolut yang harus kita paksakan pada orang lain. Ketika kita berupaya memaksakan kebenaran kita pada orang lain, sebenarnya jikalau kita lihat sudut pandang Islam kembali, Allah SWT melarang kita berlaku demikian seperti dalam sindirian Allah SWT dalam Al-Quran “kullu hizbin bima ladaihim farihuun” artinya setiap golongan akan bangga dengan apa yang mereka miliki.Nah dari ayat ini bisa kita artikan bahwa Allah SWT sebenarnya menganjurkan pada kita untuk tak berlaku egoistis dengan apa yang kita miliki atau yakini kebenarannya. Yang dalam hal ini kita harus sadar bahwasanya akan anjuran Allah SWT juga mengajarkan kita akan berperilaku sadar akan perbedaan dan perselisihan,Allah Berfirman “wama kana rabbuka laja’alannasa ummatan wahidatan,walaa yazaaluuna mukhtalifiin” artinya “Dan tidaklah Tuhanmu telah menjadikan bagi manusia sebuah umat yang satu dan senantiasa tak ada perselisihan.”.
Dari asumsi-asumsi saya diatas, bahwasanya memang kebenaran dalam ranah pemikiran sebenarnya masih mengandung kesalahan. Sangatlah tak bijak sekali jikalau kita memaksakan kebenaran tersebut sampai-sampai kita berlaku pemaksaan kebenaran serta truth claim yang selama ini marak terjadi dalam kehidupan kita baik dalam model keberagamaan, sosial, budaya dan lain-lain.
Solusi Menyikapi Relativitas Kebenaran
Meminjam istilah Rosseau, manusia secara fitrah punya sifat love self, yaitu insting untuk memelihara diri.Ia akan selalu menjaga diri sendiri serta memuaskan alam kehewanannya, baik makan, minum, seksual dan hal-hal semacam lainnya. Dan memang inilah realitanya.
Namun, bagaimana jikalau insting semacam ini out of control dan diterapkan dengan tata cara yang salah.Salah satu penerapan yang salah dalam hal ini adalah penegasian segala sesuatu yang vis a vis dengan pribadinya. Mereka semacam menerapkan tembok kokoh pada dirinya pada hal yang bertentangan dengan apa yang mereka sukai agar hal tersebut tak merubah keyakinan dan prejudice mereka. Manusia dalam aspek ini bertindak tertutup dengan hal yang menurut mereka baru dan kurang mereka pahami dalam pengetahuan mereka. Mereka jadikan dirinya sebagai monumen sakral yang memang tak boleh tersentuh oleh hal-hal apapun.
Berkaca pada kaum-kaum kafir baik pada zaman Rasulullah SAW atau nabi-nabi terdahulu, problem yang mereka alami adalah sifat ini, yakni ketertutupan diri untuk menerima Tuhan baru yang dibawa oleh para nabi dan cenderung mempertahankan status quo dengan tetap menutup upaya-upaya apapun untuk mendialogkan kebenaran-kebenaran dan prejudice mereka. Inilah problem yang bisa saya tangkap dalam kisah-kisah pembangkangan kaum-kaum kafir pada zaman para nabi.
Mengacu pada masalah relativitas kebenaran. Nampaknya sifat ketertutupan diri inilah yang menjadi sebuah masalah vital dan sulit untuk dibendung. Sifat ketertutupan diri sudah semacam bawaan lahir yang sulit dihapus pada diri manusia pada umumnya dan segelintir orang yang secara rendah hati berani untuk bersifat terbuka pada hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran yang mereka percayai, jikalau kita melihat sejarah serta realitas-realitas kehidupan di sekitar kita. Mulai dari Kisah Iblis yang enggan bersujud pada Adam bahkan sampai kisah kejatuhan Adam dari Surga karena pohon Khuld. Ketertupan diri dalam hal ini adalah enggan menerima perintah dan menuruti serta memberhalakan ego / diri mereka sendiri(kebenaran,prejudice dan keyakinan).
Oleh karena itu, walaupun mungkin ketertutupan diri adalah sifat alami atau fitrah manusia, namun mereka harusnya merubah hal itu apabila memang mereka sadar jikalau berkaca pada pengalaman-pengalaman historis yang mereka pahami.Solusinya mau tidak mau, kita haruslah selalu bersifat terbuka pada hal-hal yang mungkin bertentangan pada kebenaran yang kita percayai, serta selalu mendialogkan kebenaran yang kita yakini dengan orang yang berbeda dengan diri kita.Mari bergelut dengan kebenaran !
Komentar
Posting Komentar