Santri dan Peradaban yang Terluka
Kategorisasi Clifford
Geertz yang masyhur tentang Agama Jawa itu nampaknya sudah mulai
usang. Betapa tidak, wajah vis-a-vis “abangan”
dan “santri” ala Geertz sudah baur maknanya.
Santri tidak hanya sebuah nomenklatur yang digunakan untuk antitesa kaum
abangan semata. Wajah santri hari ini juga tidak bisa hanya dicitrakan dengan
stereotip-stereotip dengan gelar kaum
konservatif, tradisionalis, jumud dan paling parahnya Santri sering
dilabeli esketik. Tak ayal, bukti
sejarah membuktikan bahwa Serat Wedhatama
yang konon dikarang oleh Mangkunegara IV banyak mengkritik gaya hidup
santri. Salah satunya tuman temanem ing
sepi (baca: terbiasa gemar
tertanam dalam kesepian). Gaya hidup ini mungkin menjauhkan kehidupan kaum sarungan (baca: santri) dengan
lingkungan sosial menengah keatas yang seringkali punya hiruk-pikuk sendiri
dengan kemajuan pengetahuan masa kini. Akhirnya, kaum santri ini berakhir hanya
dikenal menjadi tokoh masyarakat tingkat RT atau aktivis tingkat desa. Namun,
itu problem santri dahulu.
Vice
versa. Potret santri era ini punya kemajuan yang luar
biasa. Konsep nahdliyyin yang sering
disebut-sebut “al-Akhdzu bil jadidil
ashlah” (baca: mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik) itu mungkin
merupakan bentuk sikap adaptif kaum santri untuk melihat realitas hari ini.
Sebut saja Gus Dur, mantan presiden
RI keempat itu merupakan seorang santri tulen. Namun, menariknya semasa muda
beliau merupakan santri yang saya sebut sebagai santri yang go international. Sudah maklum kita
ketahui bahwa dengan ijazah SD dan kompetensi kepesantrenannya beliau tak
berhenti mencari ilmu hingga Al-Azhar Mesir, University of Baghdad hingga
mengembara ke Belanda dan Jerman. Kala itu, bacaan-bacaan Gus Dur sebagai
santri bahkan tak hanya masalah-masalah teologis, namun masalah filsafat,
politik, sosial hingga ekonomi beliau lahap. Sebagaimana kata Greg Barton, Gus
Dur muda menghabiskan bacaannya dengan karya-karya Ernest Hemingway, Faulkner,
Marx hingga Lenin.
Kisah Gus Dur diatas,
nampaknya di era ini sudah bukan hal baru. Santri-santri Indonesia kini banyak
yang sudah punya kiprah baik sebagai pejabat, pengusaha, bahkan guru besar
kelas Internasional pun ada, sebut saja Prof.Nadirsyah Hosen atau Habib Ismail
Fajrie Alatas. Nah, inilah mungkin yang harus kita pertanyakan relevansitas
kategorisasi Agama Jawa tentang
santri yang sekarang mulai hidup pada “Kategorisasi Ketiga” sebagai bentuk
kritik-adaptif pada peradaban yang disebut oleh Goenawan Mohamad sebagai a wounded civilization (baca: peradaban
yang terluka).
A
wounded civilization ini merupakan bentuk sindrom bagi kaum agamawan baik di
Barat, Timur Tengah bahkan Indonesia sekalipun, pada Abad ke-20. Dibelakang
peradaban ini ada revolusi Perancis, mesin-mesin Industri, kemegahan teknologi,
Hak Asasi Manusia, filsafat Marx hingga filsafat Godam Friedrich Nietzsche yang
menghabisi apa yang ada dibalik fisik atau kita sebut sebagai metafisika.
Dibalik itu semua hal-hal seperti kepercayaan akan Tuhan, Nabi, Surga, Neraka
bahkan laku agama pun raib dihantamnya. Singkat kata, apapun yang “diluar
fisik” itu meaningless (baca: tak
bermakna) bagi dunia fisik.
Akhirnya, bentuk penolakan
pun muncul dari berbagai kalangan agamawan. Manifesto yang muncul dari kalangan
agamawan ini melahirkan gelombang fundamentalis
atau puritanis yang massif, tak
terkecuali dalam Islam. Mereka mensinyalir bahwa ketidakmampuan menghadapi a wounded civilization ini merupakan
bentuk laku tiap pemeluk agama yang tidak mengamalkan agama dari sumber
agamanya masa lalu secara otentik.
Menurut mereka, praktek beragama orang pada masa kini sudah tidak beragama
secara murni. Dus, kekecewaan gelombang kelompok ini akhirnya menjelma sebagai
bentuk upaya takfiri dalam Islam yang
seakan memperburuk citra Islam sendiri dengan menghegemoni truth claim, pengkafiran serampangan hingga gerakan-gerakan teror
atas nama agama.
Namun, menarik
diketahui bahwa santri bukanlah sosok yang gegabah hingga kagetan. Kaum sarungan (baca :santri) ini menanggapi hal ini
sebagaimana nalar Hegelian, bahwa peradaban yang terluka bukan berarti
peradaban yang sudah mati. Ia membutuhkan penyembuhan untuk luka yang ia
derita. Dalam arti lain, peradaban yang jelek, batil atau fasid di mata
kita, butuh perbaikan yang solutif. Bukan dengan membentur-benturkan peradaban
ala Samuel Huntington yang terkenal dengan teori Clash of Civilizations.
Oleh karenanya, santri
yang kita kenal hari ini adalah santri yang melek pengetahuan, sadar akan agama
(baca: bukan mabuk agama), cakap akan teknologi, hingga mahir berkompetisi. Santri
model ini tidaklah anti terhadap kemajuan zaman, namun juga tak lupa akan
kearifan masa lampau. Santri-santri semacam inilah yang mungkin diinginkan oleh
Abid Al-Jabiri, sarjanawan muslim Sorbonne, Perancis, sebagai kelompok proyeksi
pencerahan Islam (renaissance of Islam).
Bukan santri yang ikut arus gelombang para takfiris
yang memperburuk citra Islam serta momok bagi kemanusiaan.
Memang, kaum santri
kali ini sedang berjalan sekaligus mempersiapkan peradaban baru
ini----barangkali juga merobohkannya, siapa tahu ? Namun, patut kita menaruh
harapan pada kaum santri. Mungkin saja dengan wajah yang baru ini akan lahir sosok-sosok
seperti Gus Dur, sudah barang tentu kita mendambakan kaum santri melahirkan
pionir-pionir pencerahan pada sejarah peradaban Islam sekelas Ibnu Rusyd,
al-Farabi hingga al-Ghazali.
Komentar
Posting Komentar