Ashabul Coffee - Etnosentrisme para Sufaha' (Pertemuan Pertama)

 

 

ãAqà)uy âä!$ygxÿ¡9$# z`ÏB Ĩ$¨Z9$# $tB öNßg9©9ur `tã ãNÍkÉJn=ö6Ï% ÓÉL©9$# (#qçR%x. $ygøn=tæ 4 @è% °! ä-ÎŽô³pRùQ$# Ü>̍øóyJø9$#ur 4 Ïöku `tB âä!$t±o 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÊÍËÈ  

Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".

Sebelum membahas ayat al-Quran diatas, sebenarnya tulisan ini hanyalah catatan ngaji semacam konsorsium para pencari hidayah; yang semoga hidayah kunjung terjemput. Ketua suku menyebut kumpulan ini dengan Ashabul Coffee. Memang, kata Ashab (bentuk plural dari sohib) ini tergolong musytarak atau bermakna ganda (bukan berkepribadian ganda); namun, kami sepakat bahwa maknanya Ahbab atau pecinta kopi yang ingin berkenalan dengan hidayah sebelum menjemputnya ? Entahlah, menunggu konfirmasi ketua suku kami.

Kumpulan kami merupakan para pemuda belia, nyaris mayoritas membujang. Tak heran, akrab dengan kedai kopi yang memang jadi semacam basecamp bagi majlis kami. Sekedar duduk-duduk, minum kopi disambi ngobrol tentang isi kitab. Pilihan kitab tertuju Tafsir Al-Ibriz. Sebuah kitab yang merupakan magnum opus dari seorang ulama Nusantara sekaligus nahdliyyin; KH. Bisri Musthofa, Rembang. Kitab ini membahas tentang tafsir, exegesis atau mudahnya dikenal sebagai penjelasan-penjelasan berkaitan dengan Al-Quran dengan berbahasa Jawa Pegon. Tujuannya tak lain, mungkin kita jauh dari Al-Quran ? Barangkali. Padahal Al-Quran tak henti-hentinya mengajak.

Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r&

Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?

Singkatnya, pertemuan pertama kami terlaksana dan langsung membahas Tafsir Al-Ibriz juz II. Pembahasan kami dimulai dengan ayat pertama juz II dalam al-Quran, tepatnya ayat 141 pada surat Al-Baqarah. Ayat ini dimulai dengan pelabelan Allah terhadap kaum Yahudi dengan istilah Sufaha’ atau orang-orang bodoh (dalam tafsir disebut dengan istilah Jawa; wong-wong bodo). Sekuel cerita dalam ayat ini berkaitan tentang pemindahan kiblat umat Islam dari Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina ke Ka’bah atau dahulu dikenal dengan Bakkah, tepat di kota Makkah, Arab Saudi.

Sufaha’ atau penulis menyebutnya orang-orang cuti nalar tersebut dikatakan dalam Al-Quran pasti akan protes atau menginterupsi pemindahan kiblat. Mereka katakan ma wallahum an qiblatihimullati kaanu alaiha ? (Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?). Alasannya logis sekaligus provokatif. Kalaupun Allah menyuruh menghadap Baitul Maqdis, lantas memindah ke Ka’bah, entah ada kekeliruan kiblat ataukah alasan etnosentris (kecintaan suku atau ras) terhadap Arab, tuduh kaum Yahudi yang cuti nalar.

Allah SWT tak tinggal diam, nabi Muhammad SAW pun diberikan titah untuk memberikan jawaban pada kaum cuti nalar tersebut. Jawaban yang diberikan sangat rasional, lillahil masriqu wal maghribu (miliknya Allah, baik Timur maupun Barat) singkatnya, Allah yang punya arah manapun di muka bumi; entah Barat, Timur, Utara, Selatan, Tenggara bahkan Serong sekalipun. Lantas, akhirnya yang punya kuasa pastinya Allah. Bahkan kuasa misalkan “dahulu” nabi Muhammad diperintah Allah memindah kiblat ke Zimbabwe atau Papua Nugini. Namun, Allah memerintahkan pemindahan kiblat ke Ka’bah. Lalu, apa yang harus kita lakukan ? Ya, ngikut Allah SWT, karena kita muslim atau secara bahasa diartikan sebagai orang yang berserah diri pada Allah.

Namun, kaum cuti nalar Yahudi pasti tidak terima dengan keputusan tersebut. Usut punya usut memang mereka punya riwayat kebencian terhadap Nabi Muhammad. Bagi mereka, nabi Muhammad tidak punya kedekatan dengan Tuhan. Alasannya nabi Muhammad bukan ras Israil. Benar, bahwa Allah mengutamakan ras mereka di Al-Quran maupun kitab-kitab terdahulu. Dengan dasar itulah, Yahudi tidak mengakui kenabian jika seorang nabi bukan dari kaumnya. Nabi Muhammad bagi mereka hanya keturunan Ibrahim dari Hajar yang tak berdarah Israil. Jadi, apapun yang dikatakan nabi Muhammad menurut mereka tidak valid. Entah, mengapa kebenaran agama bagi mereka hanya ditentukan dengan kesamaan ras mereka saja ?

Lalu, apa pelajaran yang dapat kita ambil ? Yahudi dilabeli Sufaha’ gara-gara hegemoni ras yang dimilikinya. Tak disadari sikap sedemikian ada pada sejarah hidup manusia selanjutnya, Adolf Hitler misalnya dengan peristiwa Holocaust. Hitler merasa ras Arya adalah ras superior di mayapada ini. Ras lemah baginya harus dihabisi dan dimusnahkan, akhirnya timbullah genosida besar-besaran bagi kaum cacat, orang tua renta hingga Yahudi yang merupakan imigran di Jerman. Bagi Hitler, hanya ras kuat saja yang berhak hidup di muka Bumi. Mirip ketika kita melihat tokoh Thanos di serial The Avengers.

Mengaca dari kisah diatas, kita tak perlu jumawa. Barangkali bibit-bibit etnosentrisitu ada pada kita ? Kita merasa dengan popularitas, kita lebih unggul dari pada yang lain. Pangkat, keturunan, rupawan bahkan faktor laku dalam masalah cinta menjadikan kita lebih mulia dan disayang Tuhan ? Pemuka agama, pemuka masyarakat, pemuka keluarga hingga pemuka di mantan kekasih kita atau barangkali pemuka diri sendiri bagi kaum yang memilih membujang; tak menjamin kedekatannya dengan Tuhan. Lantas, apa yang menjadikan kita lebih dirahmati Tuhan ? Usaha kita dalam terus mengupayakan Takwa pada-Nya. Inna akramakum indallahi atqakum (arti: sungguh paling mulia disisi Allah adalah yang paling Takwa).


Malang, 27 Januari 2021
Muhammad Agus Saifudin

Komentar

Postingan Populer