Memaknai (kembali) Pancasila
Di tiap momentum peringatan lahirnya Pancasila, kita
tergugah untuk mengingat kembali makna Pancasila; bagi diri kita masing-masing
atau barangkali tidak sama sekali karena sudah teramat kecewa dengan
pahit-getir hidupnya. Tak dipungkiri, secara praksis, kebanyakan orang lebih pragmatis menjalani hidupnya. “Masa bodoh dengan ideologi, yang penting
saya dan keluarga saya bisa makan”, ujarnya.
Tentu, hal demikian tak lantas hadir tanpa sebab.
Meminjam istilah Marx, korelasi antara infrastruktur
dan suprastruktur nampaknya harus
saling bertali-temali saling mempengaruhi. Rendahnya kualitas infrastruktur, sebutlah ekonomi
masyarakat, jelas akan berpengaruh pada kepercayaan masyarakat akan “saktinya” suprastruktur, katakanlah ideologi.
Sejalan dengan pandangan Al-Farabi tentang
perbandingannya akan madinah al-fadhilah (Negara
Utama) dan Madinah al-Jahilah (Negara
Bodoh). Jikalau negara utama yang disifati dengan negara bernuansa profetik nan arif yang langsung dipandu oleh sang Nabi dan masyarakatnya yang
juga bijak bestari; sulit diwujudkan kembali secara realistis. Maka, madinah al-jahilah adalah negara yang
sebagaimana meminjam analisis Marx tadi, dimana semua kemapanan hidup sebuah
negara saling berkorelasi antar infrastruktur
dan suprastruktur. Apa sebab ?
Kualitas diri kita masing-masing yang harusnya patut menilai, tanpa harus
mencela keadaan satu sama lain.
Dus, karena
keadaan yang genting ini, kita punya tugas masing-masing untuk mulai mengingat,
menilai bahkan memberi makna kembali pada makna Pancasila untuk diri kita,
meskipun nantinya tak menjamin kualitas ekonomi kita. Namun, barang tentu rasa
memiliki dan kesadaran akan masa depan Indonesia lebih kita dapati. Pidato pertama Ir. Soekarno tentang Pancasila,
1 Juni 1945, menyadarkan kembali bagi kita agar kita segera siuman dari pingsan
panjang kita. Berikut penggalan pidato beliau:
“Tidak
ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di
dalamnya. Jangan dikira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara
Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahuwata’ala memberi pikiran
kepada kita supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok,
supaya keluar dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya.”
Ir. Soekarno mengisyaratkan bahwa Pancasila
bukan ideologi yang mati, lantas praktis “siap pakai” dan sekali tafsir, tak
sebagaimana ujar Karl Meinnhem, ideology
tends to be absolute. Kita harus selalu siap menggali makna Pancasila untuk
diri kita, berjuang akan faham yang dimaknai dari Pancasila dengan berbagai
sila-silanya sebagaimana maksud dari pelabelan ideologi terbuka. Kita berhak
saling berproses menjadi manusia Pancasilais
paripurna demi Indonesia, bukan hanya saling menuding, memonopoli bahkan
melembagakan Pancasila.
Dengan demikian, dinamika tafsir Pancasila
memang lumrah. Namun, jikalau yang dimaksud menafsir dengan memperkuat sila
satu dan melemahkan yang lain, maka akan timbul kesewenang-wenangan.
Mengafirmasi sila pertama namun mengabaikan persatuan, keadilan dan kemanusiaan
demi tegaknya Negara Agama secara formal misalkan. Ataupun barangkali
mendirikan sebaliknya, mengafirmasi kemanusiaan dan keadilan dengan melemahkan
agama. Meskipun, mereka sebenarnya ingin mewujudkan kesejahteraan. Hal ini tak
bisa ditolerir, tentunya.
Pancasila
yang harus dimaknai pada diri kita, agaknya harus menjadi common denominator, kalimah sawa’, atau titik temu di tiap
masyarakat Indonesia beserta sila-silanya yang terkait. Sebagaimana meminjam
Rosseau, Pancasila setidaknya merupakan contract
social bagi tiap individu, Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyah menyebut sebagai akad yang mengikat seluruh
masyarakat untuk pendirian sebuah negara.
Oleh
karenanya, perjuangan dengan pemberian ragam pemaknaan akad negara Indonesia
berupa Pancasila di tiap individu masyarakat dengan memperhatikan titik temu
bisa dikatakan fundamental. Pemaknaan sekaligus titik awal pembenahan kesadaran
dan kualitas pribadi. Sekaligus menghasilkan pergesekan pemikiran yang
merupakan bentuk sebuah macam perjuangan. Menyitir kaidah ushul Fiqh, ma kana aktsara fi'lan, kana aktsara fadlan. Sesuatu
semakin banyak dikerjakan, semakin banyak keutamaan.
Semoga mulia di
hari lahirnya Pancasila.
Selasa, 1 Juni 2021
Muhammad Agus Saifudin
Komentar
Posting Komentar