INNER JOURNEY PADA ALLAH

BACA SAMPAI HABIS, YA!
Anggapan seorang
ilmuwan, Yuval Noah Harari, penulis buku best seller Sapiens dan seri lanjutannya, Homo
Deus, kiranya patut kita perhatikan. Harari dalam Sapiens beranggapan atau barangkali ia sampai dalam taraf
menganalisa bahwa kebutuhan ras manusia bijak, yang populer kita sebut sebagai homo sapiens terhadap agama merupakan
berkat karakteristik revolusi kognitif yang dimilikinya. Harari berpendapat
bahwa ras manusia sebelum ras homo
sapiens ini tak mampu membicarakan sesuatu yang bersifat fiksi. Fiksi yang
dimaksud oleh Harari merupakan obyek yang tak nampak sebelumnya. Berbeda dengan
ras lain, mereka mungkin tak akan membicarakan sosok Spiderman ataupun Ironman sebagaimana
kita alami sekarang sebagai gambaran seorang sapiens. Tak terkecuali dalam hal agama, begitu kiranya maksud
Harari.
Fiksi “agama” yang
dimaksud Harari tersebut, menurutnya berperan penting terhadap kelangsungan
masa depan homo sapiens. Fiksi
tersebut setidaknya menghasilkan sebuah sosial kontrak, sebagaimana teori
Rosseau. Kesamaan kolektif yang mempersatukan mereka untuk hidup bersama,
memperjuangkan ide, serta menggapai tujuan bersama. Perang suci antar agama,
perang salib antara Islam dan Katholik misalnya. Bahkan, fiksi tentang ide
nasionalis yang diperjuangkan oleh para sapiens.
Semua hal itu merupakan kekuatan baru bagi homo
sapiens untuk lebih futuristik nan
positif terhadap apa yang akan
dihadapinya kelak.
Di sisi lain,
pernyataan Harari ini setidaknya cukup kontroversial. Mungkin, bagi sebagian
orang pernyataan tersebut akan membuat naik pitam hingga kepala mendidih,
terlebih bagi kaum fundamentalis ataupun kaum fanatis lain, semisal kaum
nasionalis buta. Barangkali kaum fundamentalis dan sejenisnya akan tidak terima
dan menganggap bahwa agama mereka dianggap sebuah takhayul, kepalsuan dan
guyonan nenek moyang homo sapiens.
Usut punya usut, Harari
tidak sendirian dalam melancarkan serangannya terhadap agama. Richard Dawkins
pun menulis buku yang kontroversial yang menyerang kaum agamawan secara umum,
tidak hanya kaum fundamentalis. Dawkins menamai bukunya dengan The God Delusion. Bahkan, sebelumnya ada
seorang filsuf terkenal, Ludwig Andres Feuerbach lebih intens lagi, ia
memperkenalkan sebuah tesis bahwa Tuhan bagi kaum agamawan adalah hanya
proyeksi pikiran.
Homo
Sapiens, sebagaimana namanya, tentunya kita harus berlaku bijak
sesuai maknanya. Mari kita menginsyafi pernyataan-pernyataan sebelumnya. Dengan
pernyataan Harari misalnya, secara historis bisakah kita bersatu tanpa agama ?
Jawabannya tidak pasti, bisa benar bisa pula tidak. Namun, setidaknya kita
patut berterimakasih terhadap agama. Dengannya, kita dapat lebih tenang dengan
segala alasan syariat atau ketentuan-ketentuan dalam agama. Tentunya, dengan
agama, hidup kita lebih teratur dan bijak, barang tentu pula persatuan yang
merupakan sebuah fitrah pun terlaksana. Itu semua karena agama.
Namun, barangkali
kecamuk tanya masih membekas di benak kita. Lalu, apakah kita beragama hanya
sebuah kedok untuk berbuat baik ? Benarkah Tuhan hanyalah figur sakti-mandraguna hasil proyeksi kita ?
Lalu, tak bisa tidak, barangkali agama yang hanya proyeksi pikiran tersebut
berujung pada muara kesalahan ? Kubangan ketidakpastian ? Betapa banyak,
masalah yang mungkin lahir dari sebuah keberagamaan, caci-maki atas nama agama,
huru-hara bernamakan etnosentrisme
hingga klaim kebenaran berujung egosentrisme.
Mungkin, alasan-alasan itukah yang membuat para godam (pembenci Tuhan) itu murka ?
Kecamuk tanya tersebut,
bisa jadi linier dengan realita
keberagamaan kita sekarang. Muara keberagamaan yang kita bangun, mungkin saja
bukan terfokus pada sumber keilahian. Namun, bisa jadi dominasi ego pribadi
maupun golongan yang membenarkan dirinya sendiri. Kita mungkin saja tak pernah
menjadikan diri kita sadar bahwa kita adalah hamba, namun barangkali kitalah
yang menuhankan segala macam kebenaran pada diri kita.
Nabi Muhammad SAW (571
M- 632 M), seorang orator sekaligus pemimpin hebat yang ditempatkan sebagai
tokoh paling utama yang berpengaruh bagi umat manusia menurut Michael Hart.
Nabi Muhammad dalam hal ini mengajarkan sebuah tata cara keberagamaan yang
menitikberatkan pada laku inner journey atau
dalam literatur keislaman biasa disebut dzikir
(mengingat Allah). Bahkan kata beliau, kurangnya inner journey ini pun isyarat kematian keberagamaan kita. Beliau
mengatakan, masalulladzi yadzkuru rabbahu
walladzi laa yadzkuru rabbahu masalul hayyi wal mayyiti, “perumpamaan
antara orang yang berdzikir / inner
journey terhadap Tuhannya dan orang yang tidak melakukannya, sebagamana
orang yang hidup dan orang yang telah mati”.
Malang, 22 November 2019
Muhammad Agus Saifudin
Komentar
Posting Komentar